BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dan penyebaran penduduk yang kurang seimbang, merupakan faktor yang amat mempengaruhi tentang masalah ketenagakerjaan di tanah air Indonesia. Dalam literatur hukum perburuhan yang ada, riwayat hubungan perburuhan di Indonesia diawali dengan suatu masa yang sangat suram yakni zaman perbudakan di mana terjadi penindasan dan perlakuan di luar batas kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkemampuan secara sosial ekonomi maupun penguasa pada masa itu.
Jika hubungan antara pekerja dan pengusaha tetap diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan hukum perburuhan untuk menciptakan keadilan sosial di bidang perburuhan akan sangat sulit tercapai, karena pihak yang kuat selalu ingin menguasai pihak yang lemah. Pengusaha sebagai pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak pekerja yang berada pada posisi yang lemah/rendah.
Atas dasar itu, pemerintah secara berangsur-angsur turut serta dalam menangani masalah perburuhan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja. Campur tangan pemerintah dalam bidang perburuhan melalui peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah membawa perubahan mendasar yakni menjadikan sifat hukum perburuhan menjadi ganda yakni sifat privat dan sifat publik. Sifat privat melekat pada prinsip dasar adanya hubungan kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Sedangkan sifat publik dari hukum perburuhan dapat dilihat dari adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang perburuhan/ketenagakerjaan dan dapat dilihat dari adanya ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (upah minimum).[1]
Hubungan kerja merupakan hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.
Saat ini masih banyak pekerja yang tidak mengerti akan hak dan kewajibannya sehingga banyak pekerja yang merasa dirugikan oleh pengusaha yang memaksakan kehendaknya pada pihak pekerja dengan mendiktekan perjanjian kerja tersebut pada pekerjanya. Isi dari penyelenggaraan hubungan kerja tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang yang bersifat memaksa ataupun yang bertentangan dengan tata susila yang berlaku dalam masyarakat, ataupun ketertiban umum. Bila hal tersebut sampai terjadi maka perjanjian kerja tersebut dianggap tidak sah dan batal.
Perjanjian kerja memegang peranan penting dan merupakan sarana untuk mewujudkan hubungan kerja yang baik dalam praktek sehari-hari, maka perjanjian kerja pada umumnya hanya berlaku bagi pekerja dan pengusaha yang mengadakan perjanjian kerja. Dengan adanya perjanjian kerja, pengusaha harus mampu memberikan pengarahan/penempatan kerja sehubungan dengan adanya kewajiban mengusahakan pekerjaan atau menyediakan pekerjaan, yang tak lain untuk mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.
Walaupun suatu perjanjian kerja telah mengikat para pihak, namun dalam pelakasanaannya sering berjalan tidak seperti apa yang diharapkan misalnya masalah jam masuk kerja, masalah upah, sehingga menimbulkan perselisihan paham mengenai hubungan kerja dan akhirnya terjadilah pemutusan hubungan kerja.
Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang masih belum terpenuhi hak-haknya dan sering diperlakukan semena-mena, jam kerja melampaui batas, upah tidak layak, upah minimum belum dilaksanakan, jaminan sosial kurang diperhatikan sehingga pekerja masih ada juga yang hidup dalam kekurangan. Tujuan pekerja bekerja adalah untuk memperoleh upah sebagai imbalan atas tenaga yang ia keluarkan, dan upah bagi pekerja sebagai akibat dari perjanjian kerja yang merupakan faktor utama, karena upah merupakan sasaran penting bagi pekerja guna menghidupi pekerja dan keluarganya demi kelangsungan hidupnya.
Dua pandangan yang berbeda antara pengusaha dan pihak pekerja mengenai upah yaitu di satu pihak pekerja melihat upah sebagai jaminan hidup karena harus diperoleh setinggi mungkin, sedangkan pihak pengusaha melihat upah sebagai komponen biaya produksi maka upah harus ditekan serendah mungkin. Akibat dari perbedaan pendapat atau pandangan dari kedua belah pihak inilah yang merupakan sumber perselisihan yang sering terjadi. Kedudukan pekerja sebagai individu dalam hubungan kerja masih tergolong lemah, dalam hal ini pekerja sering menuntut perbaikan upah, biasanya hal ini tidak dipenuhi oleh pihak pengusaha. Tuntutan dari pihak pekerja kemungkinan kecil akan berhasil, tetapi keberhasilan itu selalu dibayang-bayangi akan adanya pemecatan dan juga ancaman akan diputuskan hubungan kerjanya apabila pekerja tersebut berbuat di luar kehendak pengusaha yang sudah ditetapkan.
Mulai tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Dengan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tersebut, dalam suatu perseroan telah menimbulkan banyak permasalahan antara pekerja dengan pengusahanya misalnya mengenai masalah upah/gaji yang dinilai sudah tidak mencukupi kebutuhan hidup para pekerja sehari-hari berhubung dengan kenaikan harga-harga barang yang diakibatkan kenaikan harga BBM tersebut.
PT. Sapta Bina Flamindo sebagai lingkungan pekerja tertentu, pelaksanaan/penyelenggaraan hubungan kerjanya pun tidak terlepas dari permasalahan. Permasalahannya yang timbul adalah dari kepentingan pihak pengusaha maupun kepentingan pihak pekerja, yaitu masing-masing pihak menuntut agar selalu diperhatikan oleh pihak lainnya dalam hubungan kerja tersebut, walaupun tuntutannya itu menyimpang dari perjanjian kerja yang telah disepakati bersama, karena pekerja menuntut kenaikan gaji yang dinilai sudah tidak mencukupi kehidupan buruh sehari-hari yang diakibatkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak yang sebetulnya secara hukum hal tersebut tidak dapat dilakukan mengingat para pekerja masih terikat dalam perjanjian kerja selama 2 tahun.
Pengusaha menuntut pekerja agar bekerja dengan semangat penuh karena pengusaha sedang mengejar target dan pengusaha enggan menaikan upah pekerja disebabkan kontrak kerja pekerja tersebut belum berakhir. Dan upaya pengusaha sebelum kenaikan BBM adalah menaikkan upah lembur bagi pekerja-pekerjanya agar para pekerja bekerja dengan semangat penuh. Namun dengan keadaan ekonomi sekarang ini yang serba tidak stabil mempengaruhi semangat kerja para pekerja menjadi menurun drastis akibat harga barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari juga ikut naik dan menyebabkan penghasilan para pekerja otomatis tidak mencukupi kebutuhan hidup pekerja sehari-hari dan semangat kerja para pekerja juga ikut menurun. Penjualan produk-produk karet yang dalam sebulan kira-kira mencapai ±350 ton/bulannya sebelum kenaikan BBM, menjadi ±300 ton/bulannya akibat kenaikan BBM tersebut. Dan upaya dari pengusaha untuk menghadapi kendala tersebut adalah menjanjikan kenaikan upah pada para pekerja apabila para pekerja mampu bekerja dengan semangat penuh. Hal ini menyebabkan para pekerja bekerja dengan semangat kerja yang menggebu-gebu karena menginginkan upah seperti yang dijanjikan oleh pengusaha. Dengan dipenuhi tuntutan para pekerja yaitu dinaikkan gaji pokok masing-masing pekerja sebesar 10% oleh pengusaha mengakibatkan penjualan bermacam-macam jenis karet yang semula dari bulan Oktober tahun 2005 sampai dengan bulan Desember tahun 2005 yang dalam sebulannya kira-kira mencapai jumlah ± 300 ton akibat kenaikan harga BBM. Dan pada bulan Januari tahun 2006, penjualan berbagai macam jenis karet menjadi sejumlah ±400 ton/bulannya dikarenakan pihak pengusaha menaikkan upah/gaji pokok masing-masing pekerja sebesar 10 %.
Menurut pengamatan penulis bahwa turunnya semangat kerja, banyak faktor yang menjadi penyebabnya, misalnya upah terlalu rendah, insentif kurang terarah, lingkungan kerja fisik yang buruk, lingkungan sosial yang kurang menyenangkan dan masih bermacam-macam sebab lainnya. Tetapi sebetulnya prinsip turunnya semangat kerja disebabkan ketidakpuasan para pekerja baik pada barang material (upah, jaminan sosial fasilitas material) maupun pada bidang non material (penghargaan sebagai manusia, kebutuhan berpartisipasi, harga diri). Bila tidak diketahui sebab-sebab turunnya semangat kerja, maka pemecahan permasalahan yang timbul hanya akan bersifat tambal sulam semata-mata atau hanya pada permukaan/kulitnya.[2]
Dalam hubungan kerja timbul perselisihan antara pihak pengusaha dan pihak pekerja biasanya berpokok pangkal karena ada perasaan-perasaan kurang puas. Pengusaha memberikan kebijaksanaan yang menurut pertimbangannya sudah baik akan diterima oleh para pekerja, namun para pekerja yang bersangkutan mempunyai pertimbangan dan pandangan yang berbeda-beda, maka akibatnya kebijaksanaan yang diberikan pengusaha itu menjadi tidak sama, pihak pekerja yang merasa puas akan tetap terus bekerja sedangkan pihak pekerja yang merasa tidak puas akan menunjukkan semangat kerja yang menurun hingga terjadi perselisihan-perselisihan.
Dalam hubungan kerja di PT. Sapta Bina Flamindo timbullah perselisihan dimana pihak pekerja menuntut kenaikan upah dan pihak pengusaha enggan menaikkan upah pekerja tersebut karena para pekerja masih terikat kontrak kerja selama 2 tahun sehingga timbullah perselisihan. Pengusaha enggan menaikkan upah para pekerja karena melihat ketentuan Pasal 59 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni: “Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun”. Atas dasar itulah pengusaha enggan menaikkan upah pekerja dan apabila upah para pekerja tidak dinaikkan, maka para pekerja akan bekerja dengan semangat yang menurun dan menyebabkan penjualan bermacam-macam jenis karet otomatis akan ikut menurun dan perusahaan tersebut juga akan terancam bangkrut. Upaya pengusaha mengatasi permasalahan yang timbul adalah menjanjikan kenaikan upah terhadap para pekerjanya apabila bekerja dengan semangat penuh. Dengan janji tersebut, para pekerja bekerja dengan semangat penuh dan pada akhirnya menyebabkan penjualan bermacam-macam jenis karet mengalami peningkatan. Karena sesuai dengan janji pengusaha tersebut, maka pengusaha memenuhi janjinya dengan menaikkan upah pokok para pekerja sebesar 10%, meskipun kebijakan pengusaha tersebut bertentangan dengan Pasal 59 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas permasalahan ini dalam satu tulisan Karya Ilmiah dengan judul “Perubahan Perjanjian Kerja Terhadap Status Para Pekerja Waktu Tertentu Setelah Kenaikan Upah (Studi Kasus PT. Sapta Bina Flamindo).”
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan diangkat penulis adalah bagaimana perubahan perjanjian kerja terhadap status para pekerja waktu tertentu setelah kenaikan upah pada PT. Sapta Bina Flamindo?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan :
Untuk mengetahui perubahan perjanjian kerja terhadap status para pekerja waktu tertentu setelah kenaikan upah pada PT. Sapta Bina Flamindo.
Kegunaan :
Keguanaan Teoritis :
Agar mahasiswa/mahasiswi mengetahui status dari pekerja waktu tertentu akibat perubahan perjanjian kerja setelah kenaikan upah.
Kegunaan Praktis :
Agar para pekerja dan pengusaha dapat menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi antara pihak pengusaha dan pekerja sewaktu melangsungkan hubungan kerja.
D. Kerangka Konseptual
Dilihat dari aspek judul dan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka dalam hal ini perlu dijelaskan lebih dahulu mengenai hal tertentu sebagai berikut:
- Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, perubahan adalah hal berubahnya sesuatu; pertukaran; peralihan.[3]
- Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3, pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
- Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14, perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
- Menurut Imam Soepomo, perjanjian kerja adalah perjanjian di mana pihak kesatu, buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah.[4]
- Menurut Darwan Prinst, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh atas prestasi berupa pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan oleh Tenaga Kerja dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang.[5]
- Berdasarkan Kamus Hukum Sudarsono, upah adalah uang dan sebgainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu gaji atau imbalan.[6]
- Berdasarkan Kamus Hukum Sudarsono, status adalah keadaan atau kedudukan seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di lingkungannya.[7]
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh peneliti untuk meneliti permasalahan seperti telah diuraikan di atas adalah:[8]
- Normatif atau library research, yaitu penelitian ini didasarkan literatur hukum atau studi dokumen yang diambil dari bahan-bahan pustaka, yang terdiri dari:
- Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang merupakan bahan hukum yang utama dan belum diolah oleh orang lain (seperti UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
- Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang sudah dikelola oleh orang lain atau oleh peneliti yang pakar dibidangnya (seperti buku-buku, artikel koran dan sumber lainnya seperti internet).
- Bahan hukum tersier yaitu bahan yang diteliti itu ada di dalam kamus-kamus yang berkaitan dengan hal-hal yang akan dibahas.
- Empiris atau field research merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti langsung di lapangan atau masyarakat dalam hal ini adalah PT. Sapta Bina Flamindo. Metode penelitian ini dilakukan untuk mendapat data dengan cara wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada saudari Susanti yang bekerja mengurusi Bagian Umum dan saudari Lumi yang mengurusi Bagian Administrasi/Pembukuan pada PT.Karya Bina Bersama.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam mengikuti sajian pembahasan materi skripsi ini, penulis akan menguraikan secara singkat Bab demi Bab yang terkait guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap arah pembahasan seperti di bawah ini:
BAB I Pendahuluan
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, dan sistematika penulisan.
BAB II Kerangka Teoretis
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai pengertian hubungan kerja, perjanjian kerja, kewajiban pekerja, kewajiban pengusaha, perselisihan perburuhan dan pengertian upah.
BAB III Data Hasil Penelitian
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai sejarah berdirinya PT. Sapta Bina Flamindo, struktur organisasinya serta membahas mengenai gambaran umum hasil penelitian di PT. Sapta Bina Flamindo.
BAB IV Analisis Permasalahan
Menganalisis mengenai status para pekerja waktu tertentu akibat perubahan perjanjian kerja baru yang terjadi antara pengusaha dengan pekerja pada PT. Sapta Bina Flamindo.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Merupakan Bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hubungan Kerja
Pada dasarnya, hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.
Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.[9]
Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu.[10]
Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai:
- Pembuatan Perjanjian Kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja)
- Kewajiban Pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut)
- Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari si pekerja atas upah)
- Berakhirnya Hubungan Kerja
- Cara Penyelesaian Perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan
B. Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.
Selanjutnya perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat Subekti beliau menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh).[11]
Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya tertulis atau lisan; demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaiman sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.[12]
Bagi perjanjian kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Undang-undang hanya menetapkan bahwa jika perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha. Apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan, perjanjian yang dibuat tertulispun biasanya diadakan dengan singkat sekali, tidak memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasl 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Per). Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal 52 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
- Kesepakatan kedua belah pihak;
- Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
- Adanya pekerjaan yang dijanjkan;
- Pekerjaan yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjkan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah pasal 1320 KUH Per adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja anatar pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Kalau syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subyektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.
Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian kerja:
1. Adanya unsur work atau pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin pengusaha dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1603a yang berbunyi:
“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan ketrampilan atau keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
2. Adanya unsur perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau klien.
3. Adanya upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik lapangan di hotel.
4. Waktu Tertentu
Yang hendak ditunjuk oleh perkataan waktu tertentu atau zekere tijd sebagai unsur yang harus ada dalam perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja tidak berlangsung terus-menerus atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.[13]
Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjanya adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjanya adalah pekerja tetap.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan.
Dalam Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
- Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
- Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
- Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
C. Kewajiban Pekerja
Kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atau statusnya. Adapun kewajiban dari pekerja adalah sebagai berikut:[14]
1. Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan;
2. Wajib mematuhi Peraturan Perusahaan;
3. Wajib mematuhi Perjanjian Kerja;
4. Wajib mematuhi Perjanjian Perburuhan;
5. Wajib menjaga Rahasia Perusahaan;
6. Wajib mematuhi peraturan majikan;
Adapun kewajiban pekerja lainnya tercantum dalam ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu kewajiban membayar ganti rugi kepada pihak lainnya (pengusaha) sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja apabila mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu.
D. Kewajiban Pengusaha
- Kewajiban membayar upah; dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat waktu. (Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) Ketentuan tentang upah ini telah mengalami perubahan pengaturan ke arah hukum publik. Hal ini terlihat dari campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah minimum yang harus dibayar oleh pengusaha yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.Mengenai masalah upah juga ditegaskan lebih lanjut dalam Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2093 Tahun 2005 tentang Penetapan Upah Minimum Propinsi (UPM) Tahun 2006 di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dimana dijelaskan bahwa upah minimum di propinsi daerah khusus Ibukota Jakarta sebesar Rp. 819.100 perbulan. Dan perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari ketentuan UPM/Upah Minimum Sektoral Propinsi Propinsi DKI Jakarta, dilarang mengurangi/menurunkan upah sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: Per-01/Men/1999 tanggal 12 Januari 1999 tentang Upah Minimum.
- Kewajiban memberikan istirahat/cuti; pihak pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Hak atas istirahat ini penting artinya untuk menghilangkan kejenuhan pekerja dalam melakukan pekerjaan. Cuti tahunan yang lamanya 12 hari kerja. Selain itu pekerja/buruh juga berhak atas cuti panjang selama 2 bulan setelah bekerja terus menerus selama 6 tahun pada suatu perusahaan (Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
- Kewajiban menyediakan fasilitas kesejahteraan bagi para pekerja untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja penyediaan fasilitas kesejahteraan dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja dan ukuran kemampuan perusahaan. (Pasal 100 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
- Kewajiban untuk memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja. (Pasal 114 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
- Kewajiban untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja yang dimaksud meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
c. (Pasal 77 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
E. Perselisihan Perburuhan
Secara umum setiap pertentangan atau ketidak sesuaian antara majikan dengan buruh mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan merupakan perselisihan perburuhan.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 1 angka 1). Atas dasar itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi perselisihan hubungan industrial menjadi:
1. Perselisihan Hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa perselisihan hak merupakan perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak termasuk di dalamnya hal-hal yang sudah ditentukan dalam peraturan perusahaan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, menurut Iman Soepomo, perselisihan hak ini terjadi karena tidak adanya persesuaian paham mengenai pelaksanaan hubungan kerja.[15]
1. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka perbedaan antara perselisihan hak dan perselisihan kepentingan yang dikenal selama ini dalam kepustakaan didasarkan atas para pihak yang bersengketa, yakni pekerja dan perseorangan, terlibat dalam perselisihan hak, sedangkan pekerja secara kolektif/organisasi menjadi para pihak dalam perselisihan kepentingan sudah tidak dijadikan acuan lagi. Pekerja, baik secara pribadi maupun kolektif, saat ini dapat menjadi para pihak dalam perselisihan hak maupun perselisihan kepentingan.
2. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Perselisihan mengenai PHK selama ini paling banyak terjadi karena tindakan PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha/majikan maupun pekerja/buruh. Dari majikan/pengusaha dilakukan karena buruh/pekerja melakukan berbagai tindakan atau pelanggaran. Demikian sebaliknya, PHK juga dapat dilakukan atas permohonan buruh/pekerja karena pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati atau berbuat sewenang-wenangnya kepada buruh/pekerja.
3. Perselisihan Antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan
Perselisihan antar-serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi, dalam dunia industri yang diwujudkan dengan adanya kebebasan unutk berserikat bagi pekerja/buruh, sehingga jumlah serikat pekerja/buruh di suatu perusahaan tidak dapat dibatasi. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh memberikan kemudahan bagi buruh untuk membentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) Tingkat Perusahaan (TP), yakni minimum sepuluh orang anggota. Undang-undang ini juga menekankan bahwa siapapun dilarang menghalangi atau memaksa pembentukan atau tidak membentuk Serikat Pekerja (SP) atau Serikat Buruh (SB)-TP. Ketentuan ini mengandung makna bahwa tidak seorang pu yang dapat menghalangi pekerja/buruh untuk menjadi pengurus atau anggota seriakt SP/SP-TP, atau melarang serikat tersebut melakukan atau tidak melakukan aktivitasnya.
F. Upah
Upah adalah merupakan faktor yang amat penting dalam kehidupan manusia. Maka dari itu soal upah untuk pekerja suatu perusahaan bukan urusan yang mudah, karenanya perlu diatur dalam perundang-undangan. Pengusaha melihat upah sebagai komponen biaya produksi dari berbagai barang dan jasa yang dihasilkan, oleh karena itu harus dilakukan upaya menekan upah itu sendiri.[16]
Pemerintah melihat upah sebagai suatu standar hidup masyarakat, oleh karena itu rumusan upah harus dapat mencipatakan iklim usaha dan sosial yang baik, agar dengan demikian berbagai kepentingan masyarakat bisa dipadukan.[17]
Pekerja memandang upah sebagai komponen pokok penghasilan yang tersedia baginya untuk menjamin kelangsungan hidupnya beserta keluarganya, meningkatkan penghidupan di tengah-tengah lingkungannya serta mempertahankan martabat sebagai warga yang baik, untuk itu segala upaya harus dilakukan meningkatkan upahnya.[18]
Perbedaan pandangan ini dapat dilihat pada rumusan-rumusan di bawah ini:
- Menurut Soepomo, dalam bukunya Pengantar Hukum Perburuhan mengatakan : “Upah adalah pembayaran yang diterima buruh selama ia melakukan pekerjaan atau dipandang melakukan pekerjaan.
- Menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah : “Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan/jasa telah atau akan dilakukan, dinyatakan/dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan/perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja, termasuk tunjangan kerja antara pengusah dengan pekerja, termasuk tunjangan, baik buruh itu sendiri, maupun keluarganya.
Upah adalah pembayaran yang diterima buruh selama ia melakukan pekerjaan atau dipandang melakukan pekerjaan.[19] Dipandang dari sudut nilainya, upah itu dibeda-bedakan antara upah nominal dan upah riil. Upah nominal yaitu jumlah yang berupa uang sedangkan upah riil yaitu banyaknya barang yang dapat dibeli dengan jumlah uang itu. Bagi buruh yang penting ialah upah riil ini, karena dengan upahnya itu harus mendapatkan cukup barang yang diperlukan untuk kehidupannya bersama dengan keluarganya. Kenaikan upah nominal tidak mempunyai arti bagi pekerja, jika kenaikan upah itu disertai dengan atau disusul oleh kenaikan harga keperluan hidup dalam arti kata seluas-luasnya.
Jadi upah yang diberikan kepada seseorang, selain seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan dan juga seharusnya cukup memadai atau bermanfaat bagi pemuas/ memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Pekerja menerima upah, selama ia melakukan pekerjaan pembayaran upah itu harus menjadi dorongan untuk mempertinggi semangat kerja dan menambah prestasi kerja. Pendapatan yang dihasilkan para pekerja atas pekerjaan/kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja di suatu perusahaan, dapat dikatakan sangat berperan dalam hubungan perburuhan dan sebagai dasar hubungan perburuhan yang baik, maka sudah selayaknya kalau seorang pekerja:
1. Memperoleh sejumlah pendapatan yang cukup dengan pertimbangan dapat menjamin kebutuhan hidup yang pokok beserta keluarganya.
2. Merasakan kepuasan berkenaan dengan adanya kesesuaian pendapat dengan orang lain yang mengerjakan pekerjaan yang sejenis di perusahaan-perusahaan lainnya.
Jika dilihat dari segi bentuknya upah dapat dibedakan atas:
3. Upah Nominal,
“Yang dimaksud dengan upah nominal adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada para buruh yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas pengerahan jasa-jasa atau pelayanannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja di bidang industri atau perusahaan ataupun dalam suatu organisasi kerja, di mana ke dalam upah tersebut tidak ada tambahan atau keuntungan yang lain diberikan kepadanya. Upah nominal ini sering disebut dengan upah uang sehubungan dengan wujudnya memang berupa uang secara keseluruhan”.[20]
4. Upah Nyata,
“Yang dimaksud dengan upah nyata adalah upah yang harus benar-benar diterima oleh seseorang yang berhak”.[21]
Upah nyata ini ditentukan oleh daya beli upah tersebut yang tergantung dari:
a. Besar kecilnya jumlah uang yang akan diterima.
b. Besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan
Adakalanya upah itu diterima dalam bentuk uang atau fasilitas atau in natura, maka upah nyata yang diterimanya yaitu jumlah upah uang dan nilai rupiah dari fasilitas dan in natura tersebut.
5. Upah Hidup,
“Dalam hal ini upah yang akan diterima seorang buruh itu relatif cukup untuk membiayai keperluan hidup yang lebih luas, yang tidak hanya kebutuhan pokoknya saja yang dapat dipenuhi melainkan juga sebagian dari kebutuhan sosial keluarganya, misalnya bagi pendidikan, bagi bahan pangan yang memiliki nilai-nilai gizi yang lebih baik, iuran asuransi jiwa dan beberapa lainnya lagi”.[22]
Kemungkinan setelah masyarakat adil dan makmur yang sedang kita perjuangkan dapat terwujud sebaik-baiknya upah yang diterima buruh pada umumnya dapat berupa uang ataupun kalau perusahaannya itu dapat berkembang dengan baik, akan menjadi perusahaan yang kuat yang akan mampu memberi upah, oleh karena itu maka kedua belah pihak sebaiknya berjuang, berpahit-pahit dulu agar perusahaan kuat itu dapat terwujud.
6. Upah Minimum,
“Pendapatan yang dihasilkan para buruh pada suatu perusahaan sangat berperan dalam hubungan perburuhan. Bertitik tolak dari hubungan formal ini haruslah tidak dilupakan bahwa seorang buruh adalah seorang manusia dan dilihat dari segi kemanusiaan, sewajarlah kalau seseorang buruh itu mendapatkan penghargaan yang wajar atau perlindungan yang layak”.[23]
Upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, walaupun dalam arti yang sederhana.
7. Upah yang Wajar,
“Ialah sebagai upah yang secara relatif dinilai cukup wajar oleh pengusaha dan para buruhnya sebagai uang imbalan atas jasa-jasa yang diberikan buruh kepada pengusaha atau perusahaan, sesuai dengan perjanjian kerja di antara mereka. Upah yang wajar ini sangat bervariasi dan bergerak antara upah minimum dan upah hidup, yang diperkirakan oleh pengusaha cukup untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan buruh dan keluarganya, di samping mencukupi kebutuhan pokok juga beberapa kebutuhan lainnya transport, dan sebagainya”.[24]
Faktor-faktor yang mempengaruhi upah wajar adalah sebagai berikut:
a. Kondisi ekonomi negara secara umumnya,
b. Nilai upah rata-rata di daerah di mana perusahaan itu beroperasi,
c. Posisi perusahaan dilihat dari struktur ekonomi negara,
d. Undang-undang terutama yang mengatur masalah upah dan jam kerja,
e. Ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam lingkungan perusahaan,
f. Peraturan perpajakan,
g. Pengusaha dan organisasi buruh yang mengutamakan gerak saling harga menghargai dan musyawarah serta mufakat dalam mengatasi segala kesulitan,
h. Standar hidup para buruh sendiri.
Menurut cara menetapkan upah, terdapat berbagai sistem upah, sebagai berikut:
- Sistem upah jangka waktu
Menurut sistem pengupahan ini upah ditetapkan menurut jangka waktu pekerja melakukan pekerjaan: untuk tiap jam diberi upah jam-jaman, untuk bekerja diberi upah harian, untuk seminggu bekerja diberi upah mingguan, untuk sebulan bekerja diberi upah bulanan dan sebagainya.
Dalam sistem ini buruh menerima upah yang tetap. Karena untuk waktu-waktu yang tertentu pekerja akan menerima upah yang tertentu pula, pekerja tidak perlu melakukan pekerjaannya secara tergesa-gesa untuk mengejar hasil yang sebanyak-banyaknya, sehingga dengan demikian dapat diharapkan pekerja akan bekerja dengan baik dan teliti.
Sebaliknya dalam sistem pengupahan ini, tidak ada cukup dorongan untuk bekerja secara giat, bahkan kadang-kadang hasilnya kurang dari yang layak yang dapat diharapkan. Karena itu sistem ini sering kali disertai dengan sistem premi. Dari buruh dimintakan untuk jangka waktu tertentu suatu hasil yang tertentu, jika ia dapat menghasilkan lebih dari yang telah ditentukan itu, ia mendapat premi.
- Sistem upah potongan
Sistem upah potongan ini seringkali digunakan untuk mengganti sistem upah jangka waktu, di mana atau bilamana hasil pekerjaan tidak memuaskan. Karena upah ini hanya dapat ditetapkan jika hasil pekerjaan dapat diukur menurut ukuran tertentu, misalnya jumlah banyaknya, jumlah beratnya, jumlah luasnya dari apa yang dikerjakan, maka sistem pengupahan ini tidak dapat digunakan di semua perusahaan;
Manfaatnya sistem pengupahan ini adalah:
- Pekerja mendapat dorongan untuk bekerja giat, karena makin banyak ia menghasilkan, makin banyak pula upah yang akan diterimanya;
- Produktivitas pekerja dinaikkan setinggi-tingginya;
- Barang modal seperti alat dan sebagainya, digunakan secara intensif.
Tetapi sebaliknya sistem ini memungkinkan keburukan sebagai berikut:
- Kegiatan pekerja yang berlebih-lebihan;
- Pekerja kurang mengindahkan tindakan untuk menjaga keselamatan dan kesehatannya;
- Kurang teliti dalam mengerjakan sesuatu;
- Upah tidak tetap.
Untuk menampung keburukan ini, ada kalanya sistem upah potongan ini, digabungkan dengan sistem upah jangka waktu menjadi sistem upah potongan dengan upah minimum. Dalam sistem upah gabungan ini ditentukan:
a. Upah minimum untuk jangka waktu yang tertentu misalnya upah minimum sehari.
b. Jumlah banyaknya hasil yang sedikit-dikitnya untuk pekerjaan sehari. Jika pada suatu hari pekerja hanya menghasilkan jumlah yang minimum itu ataupun kurang dari minimum itu, ia akan juga hanya menerima upah minimum sehari itu. Jika ia menghasilkan lebih banyak dari minimum itu ia menerima upah menurut banyaknya hasil pekerjaan itu.
3. Sistem upah permupakatan
Sistem pengupahan ini pada dasarnya adalah upah potongan, yaitu upah untuk hasil pekerjaan tertentu, misalnya pada pembuatan jalan, pekerjaan memuat, membongkar dan mengangkut barang dan sebagainya, tetapi upah itu bukanlah diberikan kepada pekerja masing-masing, melainkan kepada sekumpulan pekerja yang bersama-sama melakukan pekerjaan itu.
4. Sistem skala upah berubah
Pada sistem skala upah berubah ini terdapat pertalian antara upah dengan harga penjualan hasil perusahaan. Cara pengupahan ini dapat dijalankan oleh perusahaan yang harga barang hasilnya untuk sebagian terbesar atau seluruhnya tergantung dari harga pasaran di luar negeri. Upah akan naik atau turun menurut naik turunnya harga penjualan barang hasil perusahaan. Cara pengupahan ini terdapat pada perusahaan pertambangan dan pabrik baja di Inggris.
Dalam sistem ini yang menimbulkan kesulitan adalah bilamana harga barang itu turun yang dengan sendirinya akan mengakibatan penurunan upah. Karena buruh sudah biasa menerima upah yang lebih tinggi, maka penurunan upah akan menimbulkan perselisihan.
5. Upah Indeks
Upah indeks merupakan upah yang naik turun menurut naik turunnya angka indeks biaya penghidupan. Naik turunnya upah itu tidak mempengaruhi nilai riil dari upah.
6. Sistem pembagian keuntungan
Di samping upah yang diterima pekerja pada waktu-waktu tertentu, pada penutupan tahun buku bila ternyata pengusaha mendapat keuntungan yang cukup besar, kepada pekerja diberikan sebagian dari keuntungan itu.
Sistem pembagian keuntungan ini pada umumnya tidak disukai oleh pihak pengusaha dengan alasan bahwa keuntungan itu adalah pembayaran bagi risiko yang menjadi tanggungan pengusaha. Pekerja tidak ikut menanggung bila perusahaan menderita rugi.
Karena itu pengusaha pada umumnya lebih condong pada system copartnership, di mana pekerja dengan jalan menabung diberi kesempatan menjadi persero dalam perusahaan. System copartnership ini sekarang banyak dijalankan misalnya di Amerika Serikat, Belanda, dan lain-lain.